Umat Islam, Sering Jadi “Korban” Media - BM Center

Senin, Agustus 02, 2010

Umat Islam, Sering Jadi “Korban” Media




Beda dengan agama lain, di mana memdia tak pernah ada menyebut “Hindi Terrorists”, “Christian terrorists” atau “Catholic Terrorists”

Hidayatullah.com--Pemberitaan yang ada di media kerap tendensius.
Parahnya, umat Islam yang justru sering jadi korban. Kejadian itu, sering dilakukan media Bara
t dan tak sedikit juga media nasional. Banyak berita yang tidak adil (unfair) dalam memberit
akan Islam. Pernyataan ini disampaikan Direk
tur Media Watch, Sirikit Syah, “Kapitalisme Pers dan Umat Islam” di Unair, Surabaya Sabtu (31/7).
Contoh yang paling jelas, ujar Sirikit, pemberitaan yang dilakukan Majalah TIME tahun 1998. Majalah tersebut, katannya sangat tendensius dalam memberitakan pertikaian kelompok antara pemuda di Ketapang, Jakarta dengan pendatang Ambon, di wilayah pusat hiburan. Karena ulah TIME, jelas Sirikit, konflik Ambon jadi meledak.
Seperti diketahui, majalah tersebut secara vulgar memuat gambar pengejaran dan penyembelihan orang Ambon. Tidak hanya itu, identitas kelompoknya disebutkan dengan jelas identitas agama dan kesukuannya. Padahal, kata Sirikit, konflik itu tidak lain hanya masalah lahan parkir dan perilaku sehari-hari, tapi sayangnya oleh TIME justru dipotret sebagai konflik agama.
Tak pelak, orang Ambon yang lari dari Jakarta kemudian “membantai” umat Islam yang sedang shalat Idul Fitri di masjid Ambon, tepatnya Februari 1999-dua bulan setelah laporan TIME.
Lebih jelas, Sirikit mengatakan, dalam kasus pengeboman di Indonesia, media barat dengan mudah menyebut “Islamic terrorist”. Mungkin benar pelakunya beragama Islam, tapi kata Sirikit, menempelkan label Islam pada kata “teroris” sebuah stigmatisasi sistematis. Beda halnya dengan agama lain. Katanya, belum pernah ada penyebutan “Hindi Terrorists”, “Christian terrorists”, “Catholic Terrorists”, dan “Budhist Terrorists” dan sebagainya.
Senada dilakukan The New York Times, dalam peristiwa pengeboman di Jakarta tahun lalu, korespondennya buru-buru menulis berita dengan judul, “Militants Eyed in Indonesia Bombing”. Dan, di lead berita, ada kalimat yang ditulis, “Islamic terrorists”. “Sangat judgemental, menghakimi, trial by the press,” ujar Sirikit.
Pemberitaan media massa juga terlihat tidak adil ketika eksekusi Tibo dkk (2006). Media mainstream ramai-ramai membela Trio Tibo dengan headline dan opini utama anti hukuman mati. Tidak hanya itu, ujar Sirikit, dalam insiden Monas, Munarman difitnah di halaman pertama sebuah media nasional.
Lebih mengherankan lagi, kata Sirikit, pemberitaan Syekh Puji. Seolah tak ada penjahat lain sehingga harus menyeret Syekh Puji yang jelas-jelas menikah secara resmi, atas dasar cinta kasih dan sedang hidup bahagia. Puji dan Ulfa tidak melanggar hak siapa-siapa dan tidak menyakiti siapa-siapa. Sebab, lanjut Sirikit bila alasan hanya nikah di bawah umar, ada berapa banyak pasangan di bawah umur yang harus ditahan?
Lagi pula, kata Sirikit, bila Indonesia mengakui Islam, bukankah perkawinan sah bila perempuan telah akil baligh?
Selain Sirikit Syah, seminar yang diprakarsai Dept. Ekonomi Syariah Unair dan INPAS Surabaya, menghadirkan peneliti INSISTS Dr. Adian Husaini dan Ketua Dewan Pengawas Pengurus Pusat PRSSNI, Judy Djoko Wajono.
Adian dalam kesempatan itu mengatakan, umat Islam memang kerap “dianiaya” media. Tapi, lanjut Adian, peristiwa ini tak harus menjadikan umat Islam sampai putus asa. Jika memang tidak ada yang bisa dilakukan, bisa dengan doa. Sebab, doa orang yang dianiaya, kata Adian cepat dikabulkan Allah.
Nah, jika ada upaya stigmatisasi opini terhadap Islam, bisa jadi, karena doa itu, opini tersebut, suatu saat justru akan berbalik. [ans/hidayatullah.com]




Tidak ada komentar:

Posting Komentar