MAULID NABI BESAR MUHAMMAD SAW - BM Center

Sabtu, Februari 11, 2012

MAULID NABI BESAR MUHAMMAD SAW

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menjadikan Nabi Muammad SAW paling mulia makhluk dan menjadikan ummatnya sebaik-baik ummat. Shalawat dan salam atas Beliau, para keluarganya dan sahabat-sahabatnya serta setiap orang yang mengikuti jalan-Nya sampai dengan hari kiamat.
Bulan Rabi’ul Awwal adalah bulan yang tidak asing bagi ummat Islam , sebagai bulan dilahirkannya Junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW. Hampir di negara-negara islam peringaan atas kelahiran Beliau banyak kita jumpai. Perayaan ini merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT dan rasa cinta, bahagia serta pengagungan terhadap Nabi Muhammad SAW.
Apabila kita perhatikan dalam lintas sejarah, peringatan Maulid ini bukan hanya dilakukan oleh ummat Islam sekarang ini saja. Tetapi Rasullah SAW ketika ditanya tentang kenapa Beliau berpuasa pada hari Senin, Beliau menjawab itu hari aku dilahirkan. Adapun berkumpulnya orang kemudian mereka membaca beberapa ayat dari Al Qur’an dan membaca sejarah kelahiran beliau, puji-pujian terhadap beliau, beberapa tausiyah ataupun nasihat dari para ulama kemudian ditutup dengan jamuan makanan, sudah dilaksanakan sejak abad keempat atau kelima hijrah.
Imam As Sakhawy berkata : Maulid ini tidak dilakukan oleh para salaf pada kurun ke tiga tetapi setelah itu kemudian senantiasa ummat islam di berbagai penjuru negri melakukan maulid dan mereka bershadaqoh pada malamnya dengan berbagai macam shadaqoh dan membaca sejarah kelahiran Rasulullah SAW dan nampak atas mereka barokahnya yang merata. Berkata Imam Ibnu ‘Abidin dalam Syarah Maulid karangan Imama Ibnu Hajar : Ketahuilah bahwasanya sebagian dari perkara yang baru yang terpuji ialah melakukan maulid pada bulan dimana dilahirkannya Rasulullah SAW.
Pada kesempatan ini kita coba menguak peringatan maulid yang dinukil dari beberapa kitab biografi, sejarah dan lainnya dari para ulama yang mu’tabar. Dalam kitab Al Bidayah Wan Nihayah karangan Al Hafizh Ibnu Katsir ketika beliau menyebutkan biografi Raja Irbil Yaitu Abu Sa’id Al Muzhaffar (630 H) beliau adalah salah seorang raja yang baik dan mulia, besar nan agung. Beliau memiliki sebutan dan peninggalan yang baik. Kemudian Al Hafizh Ibnu Katsir menceritakan peringatan maulid yang dibuat oleh Raja Muzhaffar pada bulan Rabi’ul Awwal dengan perayaan yang besar dan mengagumkan dan beliau itu seorang yang berwibawa, pemberani, pandai, cerdas berilmu dan adil semoga Allah merahmati beliau dan memuliakan tempat kembalinya. Syaikh Abu Khatthab telah menyusun bagi beliau sebuah kitab maulid yang benama At Tanwir fi Maulidil Basyir Wan Nadzir, maka Beliau memberikannya hadiah seribu dinar. Setelah itu al Hafizh Ibnu Katsir menggambarkan situasi perayaan maulid tersebut yang dinukil dari perkataan Syaikh Sibth Ibn Jauzy diceritakan oleh sebagian orang yang menghadiri maulid tersebut bahwasanya Raja Muzhaffar menghidangkan jamuan lima ribu hewan panggang, sepuluh ribu ekor ayam, seratus ribu yogurt atau keju dan tiga puluh ribu talam manisan. (Al bidayah Wan Nihayah Juz 13 hal 159)
Al Hafizh Al Dzahaby didalam kitab Sair A’alam An Nubala’ juga memberikan komentar yang bagus sekali ketika Beliau menukil biografi Raja Muzhaffar. Demikian pula ketika Beliau menceritakan tentang perayaan maulid oleh Raja Muzhaffar yang beliau ungkapkan dengan perkataan perayaan maulid yang tidak mampu untuk diungkapkan. Setelah itu Al Hafizh Al Dzahaby memuji beliau bahwa beliau itu orang yang tawadu’, orang yang baik, seorang yang sunny, mencintai para fuqoha dan muhadditsin dan kadangkala beliau memberi para penyair dan tidak pernah disebut bahwa beliau kalah dalam peperangan. Demikian pula yang dinukil dari Syaikh Ibn Khalkan dan beliau juga minta maaf karena masih kurangnya beliau dalam mengungkapkan kemuliaan Raja Muzhaffar.(Sair A’alam An Nubala juz 16 hal 245).
Dalam kitab Lathoiful Ma’arif karangan Imam Ibnu Rajab Al Hanbaly ketika Beliau menyebutkan tentang Wazhoif (amalan) bulan Rabi’ul Awwal pada majlis yang pertama dan kedua beliau menyebutkan peringatan maulid Rasulullah SAW. Beliau berbicara panjang lebar tentang kelahiran Baginda Nabi SAW diantaranya tentang Sabda Nabi SAW manakala ditanya tentang puasa hari Senin Beliau menjawab itu hari aku dilahirkan dan diturunkan atasku padanya nubuwah, ini merupakan isyarat dianjurkannya puasa pada hari terulang padanya nikmat Allah SWT pada hambanya, maka sesungguhna nikmat yag paling agung yang Allah SWT berikan kepada ummat ini adalah lahirnya Nabi Muhammmad SAW, kebangkitannya, dan pengutusannya sebagai Rasul. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat Ali Imron ayat 164 : Sungguh Allah SWT telah menganugerahkan atas orang-orang yang beriman ketika Allah SWT membangkitkan pada mereka rasul dari diri mereka.
Maka sesungguhnya nikmat atas umat adalah pengutusan Beliau dan ini lebih agung dari nikmat penciptaan langit dan bumi, matahari dan bulan, malam dan siang, turunnya hujan dan tumbuhnya tanaman. Kemudian Beliau berkata setelah itu bahwa puasa pada hari berulang padanya nikmat ini (pengutusan rasul SAW) dari Allah SWT atas hamba-hambaNya yang mukmin itu baik dan bagus, ini merupakan cara membalas nikmat tersebut pada waktu berulangnya dengan bersyukur dan serupa dengan hal ini adalah puasa asyura.
Perkataan Imam Ibnu Rajab ini senada dengan perkataan Al Hafidz Ibn Hajar Al Asqolany dalam Al fatawa Al Kubro juz 1 hal 196 ketika Beliau berbicara tenang dalil peringatan maulid dari hadits dianjurkannya puasa asyura yaitu dapat diambil (dari hadits tersebut) perbuatan syukur kepada Allah SWT atas apa yang telah dianugrahkan pada hari tertentu karena datangnya nikmat atau terhindar dari musibah dan berulangnya perbuatan itu pada hari tersebut setiap tahun. Syukur dapat berupa macam-macam ibadah seperti sujud, puasa, shadaqoh dan membaca Al Qur’an dan adakah nikmat yang lebh agung dari lahirnya Nabi ini Nabi Rahmat pada hari itu?
Dari nukilan-nukilan tersebut jelas bagi kita bahwa peringatan maulid nabi Muhammad SAW tidak bertentangan dengan Kitab maupun Sunnah dan dilakukan oleh ummat islam baik ulama dan awam mereka.
Mungkin terlintas dalam benak kita bahwa acara peringatan yang biasa kita lakukan tidak dilakukan oleh para ulama salaf kurun pertama sehingga hal itu akan tergolong bid’ah yang diharamkan. Jawaban atas hal ini bahwa tidak setiap yang tidak dilakukan oleh generasi pertama itu akan menjadi bid’ah yang diharamkan. Kalau kita telusuri dalam hadits-hadits, banyak perbuatan para sahabat yang dilakukan tanpa perintah dari Rasulullah SAW baik ketika beliau masih hdup ataupun sepeninggal beliau. Kalau dikatakan bahwa hal ini akan masuk pada hadits ‘setiap yang bid’ah itu sesat’, Imam An Nawawy telah menyatakan bahwa hadits ini Am Makhsus. Artinya hadits ini umum yang dikhususkan yang dimaksud adalah perkara baru yang tidak ada dalam syariat yang membenarkan hal tersebut dan beliau berkata pula bahwa bida`ah itu ada yang baik dan ada yang jelek pendapat ini dikemukakan pula oleh para ulama sepeti Imam As Syafi’i , Imam Al Fuyumy, Imam Ibnu Al Atsir, Imam Ibnu Al Aroby Al Maliki, Imam Ibnu Rajab Al Hanbaly dan Imam Ibnu Hajar al Asqolany..
Kadang pula terlintas dalam pikiran kita bahwa hari kelahiran Nab SAW bukankah juga hari wafatnya Beliau. Untuk menjawab hal ini mari kita perhatikan jawaban Imam As Suyuty bahwa Kelahiran Rasulullah SAW adalah nikmat yang paling agung bagi kita dan wafatnya Beliau adalah musibah yan paling besar bagi kita dan Syariat menganjurkan kita untuk menampakkan syukur nikmat dan ketika musibah kita dianjurkan untuk bersabar, diam dan menyembunyikan kesedihan. Sebagaimana syariat juga memerintahkan kita untuk aqiqah ketika kelahiran dan tidak memerintahkan hal tersebut ketika kematian, maka dari qoidah syariat ini diambil bahwa menampakkkan kegembiraan pada bulan Rabiul Awwal lebih baik daripada menampakkan kesedihan.
Selain hal tersebut ada juga yang menyatakan bahwa peringatan ini termasuk memuji rasul secara berlebihan dan mengkultuskan beliau, sebagaiman datang larangan untuk memuji beliau secara berlebihan (al ithro). Tentunya untuk menjawab hal ini mari kita perhatikan hadits tersebut yang diriwayakan oleh Imam Ahmad juz 1 hal 295
«لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ»
Artinya : Janganlah kalian memujiku sebagaimana orang nasrani memuji I’sa bin Maryam maka sesungguhnya aku ini hamba Allah dan RasulNYa .
Dari hadits diatas dapat kita lihat bahwa pujian yang dilarang adalah pujian yang serupa dengan pujian orang nasrani terhadap Nabi Isa dimana mereka menyatakan bahwa Nabi Isa adalah anak Tuhan sedangkan kita ummat islam dalam memuji Rasul SAW tidak ada yang seperti hal tersebut. Hal ini dapat kita pehatikan dalam sirah beliau dimana para sahabat banyak melantunkan syair untuk memuji Beliau
Bahkan kecintaan para sahabat terhadap beliau sungguh luar biasa sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhory juz 3 hal 193 dari perkataan Urwah pada peristiwa perdamaian hudaibiyyah :
فَوَاللَّهِ مَا تَنَخَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُخَامَةً إِلَّا وَقَعَتْ فِي كَفِّ رَجُلٍ مِنْهُمْ، فَدَلَكَ بِهَا وَجْهَهُ وَجِلْدَهُ، وَإِذَا أَمَرَهُمْ ابْتَدَرُوا أَمْرَهُ، وَإِذَا تَوَضَّأَ كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ، وَإِذَا تَكَلَّمَ خَفَضُوا أَصْوَاتَهُمْ عِنْدَهُ، وَمَا يُحِدُّونَ إِلَيْهِ النَّظَرَ تَعْظِيمًا لَهُ
Artinya : Demi Allah tiada Rasulullah SAW berludah kecuali ludah itu jatuh di tangan seorang dari mereka (para sahabat) maka dia gosokkan di wajah dan kulitnya dan apabila Belia memerintah, mereka segera melaksanakan perintahnya dan apabila Beliau berwudlu hampir saja mereka saling bunuh berebut air bekas wudunya dan apabila beliau berkata mereka merendahkan suara disisinya dan mereka tidak menatap beliau karena mengagungkan beliau. Wallahu ‘a’alam.

1 komentar:

  1. Pernahkah kita berfikir secara jernih dan jauh dari belenggu hawa nafsu tentang siapakah pencetus perayaan maulid nabi? Apakah mereka itu Nabi Muhammad SAW, para sahabat, para tabi'in, tabi'ut tabi'in, para imam madzhab?
    Marilah kita mencintai Nabi Muhmmad SAW dengan cinta yang sesungguhnya, yaitu dengan membenarkan ucapanya, mengamalkan perintahnya, meninggalkan larangannya, membela haditsnya, beribadah sesuai dengan tuntunannya. Bukan cinta palsu yang hanya dibangun atas dasar perasaan dan pengakuan belaka.
    Demi Alloh, tanyakanlah pada diri kita masing-masing, siapakah orang yang paling mencintai Nabi SAW, apakah diri kita ataukah para sahabat dan tabi'in serta ulama-ulama salaf dahulu? Namun, adakah di antara mereka yang merayakannya?

    BalasHapus